Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) yang memuat sanksi administrasi berupa bunga seringkali menjadi titik awal sengketa formal, terutama ketika Wajib Pajak mengajukan permohonan Penghapusan Sanksi Administrasi berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mengatur penghapusan atas sanksi administrasi yang dikenakan bukan karena kesalahan Wajib Pajak. Kasus PT ABI, yang mengajukan gugatan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak (DJP) Nomor KEP-05479/NKEB/PJ/WPJ.04/2024, menyoroti kompleksitas dan batas pengujian diskresi DJP dalam menerbitkan keputusan administratif non-SKP di Pengadilan Pajak. Inti sengketa ini adalah penolakan DJP terhadap permohonan penghapusan sanksi administrasi bunga pada STP PPN Masa Pajak Juni 2022.
Konflik esensial dalam kasus ini berakar pada pemenuhan kriteria "bukan karena kesalahan Wajib Pajak". Latar belakang timbulnya Surat Tagihan Pajak (STP) yang memuat sanksi bunga ini adalah adanya kekurangan pembayaran PPN yang terutang. PT ABI berdalih bahwa kekurangan atau keterlambatan pembayaran tersebut terjadi karena adanya kondisi luar biasa (force majeure) yang secara faktual berada di luar kendali Wajib Pajak, seperti gangguan teknis pada sistem administrasi perpajakan (seperti kegagalan e-filing atau e-billing) atau kendala operasional yang tidak dapat dihindari, yang menyebabkan PT ABI tidak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya tepat waktu. Dengan demikian, sanksi bunga Pasal 14 ayat (4) UU KUP yang timbul bukanlah akibat kelalaian atau kesengajaan yang patut dipersalahkan kepada PT ABI.
PT ABI berargumentasi bahwa kondisi yang mendasari terbitnya sanksi bunga bukanlah akibat kelalaian atau kesengajaan yang patut dipersalahkan kepadanya, sehingga memenuhi syarat mutlak Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP. Permohonan ini diajukan untuk memperoleh keadilan mengingat sifat sanksi administrasi sebagai hukuman finansial. Di sisi lain, DJP bersikukuh bahwa keputusan penolakan telah diterbitkan secara prosedural dan material yang benar, meyakini bahwa alasan yang diajukan oleh PT ABI tidak memadai untuk membuktikan tidak adanya kesalahan Wajib Pajak. DJP, yang memiliki kewenangan diskresi berdasarkan PMK terkait, berpendapat bahwa Wajib Pajak gagal memenuhi beban pembuktian mutlak.
Dalam persidangan, Majelis Hakim fokus pada pengujian keabsahan Keputusan Penolakan DJP. Majelis menguji apakah DJP telah secara cermat mempertimbangkan fakta dan bukti yang diajukan PT ABI, serta apakah keputusan penolakan tersebut sejalan dengan asas keadilan dan kepastian hukum yang melekat pada Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP. Pengadilan Pajak pada akhirnya memutuskan untuk mengabulkan gugatan PT ABI, membatalkan Keputusan Penolakan DJP. Putusan ini secara implisit menyatakan bahwa, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap, PT ABI telah berhasil membuktikan bahwa sanksi administrasi tersebut memang dikenakan bukan karena kesalahan mereka, dan oleh karenanya, keputusan DJP untuk menolak penghapusan adalah cacat dan tidak dapat dipertahankan.
Implikasi Putusan ini sangat signifikan bagi praktik litigasi perpajakan. Putusan Pengadilan Pajak ini memberikan preseden penting bahwa kewenangan diskresi DJP dalam konteks Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP tidak bersifat absolut, namun tunduk pada pengujian yudisial melalui mekanisme Gugatan. Kemenangan PT ABI menggarisbawahi pentingnya dokumentasi kronologis yang kuat dan argumentasi yuridis yang tajam dalam permohonan penghapusan sanksi, yang mampu meyakinkan Majelis Hakim bahwa kesalahan atau kekhilafan tersebut murni di luar kendali PT ABI. Kasus ini menjadi pengingat bagi DJP untuk menerapkan kewenangan diskresinya secara lebih adil, komprehensif, dan mempertimbangkan aspek kemanusiaan serta good governance dalam administrasi. Sementara bagi Wajib Pajak, ini adalah konfirmasi bahwa jalur Gugatan merupakan strategi yang efektif untuk melawan keputusan administratif DJP yang dianggap tidak berdasar.
Analisa Lengkap dan Komprehensif atas Sengketa Ini Tersedia di sini